Dugaan Pelanggaran UU ITE Dalam Karya Jurnalistik Banjarhits

Dugaan Pelanggaran UU ITE Dalam Karya Jurnalistik Banjarhits

Dugaan Pelanggaran UU ITE Dalam Karya Jurnalistik Banjarhits – Seorang jurnalis di Kotabaru, Kalimantan Selatan, telah ditangkap dan dituduh menyebarkan kebencian antaretnis dalam sebuah artikel tentang konflik tanah yang melibatkan perusahaan perkebunan. Ini seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers.

Sebuah karya jurnalistik kembali menjadi sasaran Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ketika mantan pemimpin redaksi startup media lokal banjarhits.id, Diananta Putra Sumedi, ditangkap pada hari Senin setelah menjalani penyelidikan selama 4 jam di markas Polisi Kalimantan Selatan. www.mustangcontracting.com

Mantan pemimpin redaksi melihat dirinya terlibat dalam dugaan pelanggaran UU ITE setelah banjarhits.id – mitra media berita nasional Kumparan – menerbitkan sebuah artikel berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel”. slot indonesia

Dugaan Pelanggaran UU ITE Dalam Karya Jurnalistik Banjarhits

Polisi Kalimantan Selatan seharusnya tidak menangani kasus jurnalistik yang melibatkan seorang wartawan dengan situs web Banjarhits, Diananta Putra Sumedi. Setelah menahan dan menyebut dia sebagai tersangka, polisi menuduh Diananta menyebarkan informasi mengenai isu-isu etnis, agama, ras dan antarkelompok (SARA) yang dapat menyebabkan pelanggaran. Namun, menurut rekomendasi dari Dewan Pers, kasus ini diselesaikan pada bulan Februari.

Perselisihan itu dimulai dengan sebuah artikel berjudul “Tanah Dicuri” oleh Jhonlin, “Pengaduan Orang Dayak ke Kepolisian Sumatra Selatan” yang ditulis oleh Diananta dan diterbitkan oleh di Banjarhits pada 9 November tahun lalu. Menurut artikel itu, Jhonlin Agro Raya, sebuah perusahaan milik Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, seorang pengusaha etnis Bugis dari Kalimantan Selatan, menyita tanah milik orang-orang di Kabupaten Kotabaru. Di akhir laporan, Diananta mengutip wawancara dengan ketua Dewan Ikatan Kaharingan Indonesia Sukirman, yang mengatakan bahwa perampasan tanah dapat memicu konflik antara suku Dayak dan suku Bugis.

Orang yang mengajukan laporan polisi adalah Sukirman, yang mewakili Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan. Laporan tersebut menuduh bahwa artikel tersebut telah menyebarkan kebencian dan jenuh dengan divisi masyarakat.

“Diananta diinterogasi sebagai saksi dan penyelidikan berakhir pada pukul 12:00 Waktu Indonesia Bagian Barat. Kami menunggu hingga sore hari pukul 17:30 hanya untuk bertemu dengan perintah penahanan,” kata pengacara Diananta, Bujino A. Salam kepada Tempo, Senin.

Pengacara menyatakan kekecewaannya karena polisi menolak permintaan untuk menunda penahanan kliennya setelah polisi berpendapat bahwa mantan pemimpin redaksi berisiko tinggi untuk melarikan diri dari hukum dan menghilangkan potongan-potongan bukti.

Namun, pengacara menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa counter laporan Sukirman dengan laporan polisi mereka sendiri karena ia percaya penangkapan terhadap mantan pemimpin redaksi adalah upaya untuk mengkriminalkan wartawan.

Dia juga menegaskan bahwa masalah tersebut telah dibawa ke Dewan Pers pada hari Kamis, 9 Januari 2020, sebagai sarana untuk menengahi kedua pihak yang bertikai yang juga menghasilkan rekomendasi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tapi ini tidak diperhatikan dan entah bagaimana berakhir dengan laporan polisi yang diajukan berdasarkan UU ITE. “Masalah ini seharusnya berakhir di Dewan Pers,” kata pengacara.

Sukirman membantah mengatakan apa yang ditulis dan mengeluh tentang Diananta kepada Dewan Pers dan polisi setempat. Dewan pers memutuskan bahwa laporan itu adalah karya jurnalisme meskipun melanggar kode etik karena laporan prasangka tentang kelompok etnis. Dewan juga menyatakan editor Kumparan – portal berita nasional yang berafiliasi dengan Banjarhits – bertanggung jawab atas laporan tersebut dan meminta mereka untuk memberikan hak jawab.

Namun, setelah keputusan Dewan Pers, polisi Kalimantan Selatan masih memproses laporan kejahatan yang diajukan terhadap Diananta. Mereka menggunakan Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan mengabaikan nota kesepahaman antara Dewan Pers dan kepala Kepolisian Nasional. Menurut perjanjian ini, jika ada laporan terhadap seorang jurnalis, polisi harus menyerahkan kasus itu kepada Dewan Pers. Polisi kemudian mendakwa Diananta berdasarkan pasal 28 ayat 2 tentang informasi yang menyebabkan permusuhan antara kelompok etnis, yang dijatuhi hukuman hingga enam tahun penjara dan / atau denda Rp1 miliar. Dia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada 4 Mei, sehari setelah Hari Kebebasan Pers Sedunia.

Alasan petugas polisi bahwa Diananta ditahan untuk menghentikannya menulis tentang topik yang sama lagi adalah reaksi berlebihan dan merupakan pemberangusan pers, terutama karena sejak dia diinterogasi November lalu, Diananta telah bekerja sama dengan polisi.

Peristiwa ini mengingatkan kita pada kasus Muhammad Yusuf, seorang jurnalis yang meninggal di Pusat Penahanan Kotabaru pada 10 Juni 2018. Dia didakwa dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE, yang mencakup pencemaran nama baik, setelah dia menulis tentang konflik. antara masyarakat setempat dan Multi Agro Sarana Mandiri, perusahaan lain yang dimiliki oleh Haji Isam.

Polisi jarang menggunakan ketentuan SARA terhadap pers. Dari lebih dari 14 jurnalis dari tujuh media yang ditangkap berdasarkan UU ITE, mayoritas telah didakwa berdasarkan artikel fitnah. Diananta adalah jurnalis ketiga yang didakwa berdasarkan artikel SARA, yang membawa hukuman maksimum lima tahun, dan memungkinkan tersangka ditahan segera.

Tuduhan oleh penyelidik bahwa Banjarhits bukan perusahaan media dan bahwa artikelnya bukan produk jurnalis mudah disangkal. Meskipun belum merupakan badan hukum, Banjarhits adalah bagian dari situs berita Kumparan, dan perusahaan ini adalah badan hukum. Laporan mereka telah dimuat di situs web Kumparan.com/Banjarhits berdasarkan perjanjian dengan para editor Kumparan. Mekanisme yang sama digunakan untuk 36 media lokal yang bermitra dengan Kumparan di 34 provinsi. Sangat disesalkan bahwa kerja sama antara media pusat dan lokal ini sangat tidak seimbang: dalam perjanjian tersebut, tim editorial Kumparan menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas konten yang diproduksi oleh mitra mereka. Dalam rekomendasinya, dewan pers meminta Kumparan untuk meningkatkan perjanjian ini. Markas Besar Kepolisian Nasional harus mengevaluasi kembali kinerja para perwira di Kalimantan Selatan. Di sisi lain, pers nasional harus meningkatkan prosedur kerjanya sehingga wartawan tidak siap dikriminalisasi.

Sementara itu, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Sasmito Madrim, dalam keterangan tertulisnya Selasa (5/5/2020), menuntut kepolisian melakukan tiga hal terkait penahanan Diananta.

Pertama, mendesak Polda Kalimantan Selatan membebaskan segera Diananta Putra Sumedi dari tahanan dan mencabut status tersangkanya dan meminta Polda Kalimantan Selatan menghormati keputusan Dewan Pers sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pers. Kedua, meminta Kapolri untuk mengevaluasi jajaran Polda Kalimantan Selatan yang tetap menindaklanjuti sengketa pers ke ranah pidana. Sikap kepolisian ini berpotensi memberangus kebebasan pers yang menjadi salah satu pilar demokrasi. Ketiga, meminta masyarakat menghormati kerja-kerja jurnalis dan melapor ke Dewan Pers jika merasa dirugikan dengan pemberitaan jurnalis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers.

Dewan Pers juga memutuskan berita yang dilaporkan melanggar Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik karena menyajikan berita yang mengandung prasangka atas dasar perbedaan suku (SARA).

Dugaan Pelanggaran UU ITE Dalam Karya Jurnalistik Banjarhits

Dewan Pers merekomendasikan agar teradu melayani hak jawab dari pengadu dan menjelaskan persoalan pencabutan berita yang dimaksud.

Rekomendasi itu diteken melalui lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers.

Masalah sengketa pers ini dinyatakan selesai dan pihak kumparan melalui Banjarhits.id sudah memuat hak jawab dari teradu dan menghapus berita yang dipermasalahkan.