Surat Kabar Pertama Setelah Proklamasi

Surat Kabar Pertama Setelah Proklamasi – Lazim dimafhumi bahwa koran yang pertama terbit sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah Berita Indonesia yang terbit di Jakarta. Sumber informasi itu ialah terbitan ”Detik dan Peristiwa” (17 Agustus 1945-21 Djanuari 1950) yang dikeluarkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia.

Dalam dokumen tersebut ditulis, ”13 September 1945, Berita Indonesia terbit: surat kabar pertama dalam Republik Indonesia.” slot88

Informasi tersebut nyaris tidak ada yang mempertanyakan sampai saat ini. Akan tetapi, benarkah demikian? Pertanyaan menyangsikan sebetulnya pernah meluncur dari mulut sosok yang kuat diduga bernama Mohamad Koerdie, salah seorang perintis pers nasional sekaligus pelaku sejarah. www.benchwarmerscoffee.com

Dalam tulisan yang dimuat di Harian Pagi Indonesia, 17 Agustus 1950, Koerdie tidak memastikan, tapi menantang orang untuk membuktikan kebenaran bahwa koran yang pertama terbit setelah proklamasi kemerdekaan bukan Berita Indonesia, melainkan Soeara Merdeka yang terbit di Bandung.

Bagaimana bisa? Pertama-tama harus dijelaskan bahwa cikal-bakal Soeara Merdeka adalah koran Tjahaja. Mohamad Koerdie adalah pemimpin redaksi di kedua koran itu. Proses Tjahaja menjadi Soeara Merdeka terjadi tak lepas dari kalahnya Jepang dalam Perang Dunia II dan diproklamasikannya kemerdekaan RI pada bulan Agustus.

Sebulan dua bulan setelah proklamasi, yakni September dan Oktober, koran-koran yang semula dikelola Jepang diambil alih oleh bangsa Indonesia. Koran Asia Raya di Jakarta misalnya, menjadi koran Merdeka (mulai terbit 1 Oktober 1945). Demikian halnya dengan Tjahaja di Bandung jadi Soeara Merdeka (6 September 1945-16 Juli 1947), Sinar Baroe (Semarang) jadi Warta Indonesia (September 1945-November 1945), Sinar Matahari (Yogyakarta) jadi Kedaulatan Rakyat (27 September 1945-sekarang), dan juga Soeara Asia (Surabaya) jadi Soeara Rakjat (Oktober 1945-Juli 1947).

Surat Kabar Pertama Setelah Proklamasi

Informasi mengenai tersebut dapat dilihat dalam tulisan Andi Suwirta, ”Dari Bandung ke Tasikmalaya: Suratkabar Soeara Merdeka pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-1947” (makalah dalam ”Seminar Nasional 60 Tahun Indonesia Merdeka dalam Lintasan Sejarah” di Aula Barat ITB, pada tanggal 12-14 Agustus 2005).

Proses koran Tjahaja Menjadi Soeara Merdeka

Setelah Jepang menyerah kalah dan sesudah proklamasi, situasi di Bandung jadi tak jelas. Padahal idealnya, apa yang tadinya dikuasai oleh Jepang, diserahkan dengan tata tertib kepada Sekutu yang dipimpin Inggris. Termasuk koran Tjahaja yang dikeluarkan oleh Djawa Shinbun Kai.

Sayangnya, suasana waktu itu tidak memungkinkan. Baik Jepang maupun pihak Indonesia, masih tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka semua seperti menunggu instruksi dari pusat. Sayangnya, instruksi tak kunjung datang. Kalau tak ada instruksi, mereka khawatir salah bertindak.

Akibatnya, ”Seluruhnja rencana untuk dengan melalui saluran ’tata-tertib’ menjerahkan Indonesia dengan segala-galanja oleh tentara Djepang kepada tentara Serikat mendjadi kalut dan praktis tidak dapat dilaksanakan,” tulis Harian Pagi Indonesia yang terbit 17 Agustus 1950 itu.

Demikian halnya dengan Tjahaja. Kantor itu sedianya akan menghentikan penerbitannya, menutup kantor dan menyegel pintunya, untuk diserahkan kepada Sekutu. Namun usaha itu gagal. Sebagian wartawan Tjahaja berikut pegawai yang berdiri di belakangnya memaksa pucuk pimpinan Tjahaja yang bernama Takayanagi untuk tetap menerbitkan koran.

Takayanagi tak berdaya ”… dan memang ta’ mungkin berbuat apa2. Ia terus passief sadja, artinja tidak mengambil tindakan jang tegas, seperti tjukup dengan menasihatkan sadja dengan perkataan: nanti Sekutu marah….”

Ketika proklamasi dibacakan, para wartawan di Tjahaja sebenarnya sudah mendengar informasi itu pada siang hari itu juga. Informasinya sampai lewat radio pada kantor Domei (kantor berita Jepang). Akan tetapi Tjahaja tak segera memberitakannya.

Ada tiga alasan kenapa Tjahaja tak memberitakannya. Pertama, Jepang masih mengawasi isi dari penerbitan Tjahaja sebagaimana biasanya. Kedua, masih ada bantahan juga dari Jepang. Jadi, belum jelas mana yang benar? Ketiga, ada keengganan dari editor pelaksananya.

Dalam situasi ketidakpastian setelah dibacakannya proklamasi kemerdekaan di Jakarta, sejumlah jurnalis muda yang bekerja di koran Tjahaja tak sabar ingin mengabarkan peristiwa penting itu. Mereka membuat poster besar yang dipasang pada depan kantor Tjahaja di Jalan Raya Timur 54-56 (kini Jalan Asia Afrika). Setiap kali pengawas mencopot poster tersebut, mereka membuat dan memasangnya lagi.

Demikian terjadi beberapa kali sampai para jurnalis muda itu menyerah dan juga memutuskan mencetak pamflet saja. Pendeknya, dengan berbagai cara informasi proklamasi tersebut dengan cepat tersebar.

Pada malam hari itu juga, hampir semua orang yang ada di Bandung mendengar kabar itu. Dalam waktu satu dua hari, berita pun menyebar ke seluruh kawasan Bandung, kecuali mereka yang tinggal pada pelosok di luar kota.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, koran Tjahaja terbit sore seperti biasanya. Namun isi beritanya hanya menambah ketidakpastian. Sebuah editorial dan dua artikel berita merujuk secara implisit kepada kemerdekaan sebagai pemberian Jepang. Sementara proklamasi yang dibacakan Soekarno tak disebut sama sekali.

Tanggal 18 Agustus keesokan harinya, muncul berita singkat yang juga sama ambigunya. Bedanya, judulnya ditulis besar. Pada koran ekstra Minggu, 19 Agustus, muncul berita yang lebih meyakinkan dengan judul menggunakan huruf kapital semua. Dalam berita itu, ada konfirmasi tentang proklamasi dan teks pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi baru dalam koran tanggal 22 Agustus 1945 keluar pengumuman resmi mengenai menyerahnya Jepang. Kabar ini menegaskan sekaligus menghilangkan keraguan tentang konteks dari semua hal yang terjadi saat itu.

Mungkin baru setelah Soekarno berpidato lewat radio pada tanggal 23 Agustus malam, warga Bandung sadar bahwa rezim lama sudah runtuh dan era baru dimulai.

Tjahaja Terus Diterbitkan Tanpa Pengawasan Pemerintah Jepang

Dari tanggal 17 Agustus sampai awal bulan September, Tjahaja terbit tanpa pengawasan Jepang. Akan tetapi secara faktual, ”Tjahaja terus keluar, dalam pimpinan baru segala-galanja, baik mengenai tata-usaha, ataupun redaksi”. Artinya, namanya memang masih menggunakan nama Tjahaja. Akan tetapi, kontennya sudah liar. Sudah tak ada lagi kontrol dari Jepang.

Tjahaja di bawah pimpinan yang baru itu terbit ”Kemis Manis 6 September 2605” atau 6 September 1945. Tanggal dan tahun Jepang itu tercetak di kiri atas koran. Di bawah tanggal tercantum ”Direksi: Pengoeroes Warga Tjahaja”. Nama Tjahaja tetap dipertahankan. Namun di bawahnya tertulis ”Penerbit: Warga Tjahaja”. Tadinya di tempat itu tertulis ”Penerbit: Djawa Shinbun Kai”.

Perubahan juga terjadi di bagian keterangan tarif. Tadinya tertulis ”Ditambah 10 sen seboelan oentoek B.P.P”. Mungkin maksudnya BPPP yang berarti adalah Badan Pembantu Prajurit Pekerja. Kalimat tersebut diganti jadi ”Ditambah 10 sen seboelan oentoek Badan Keamanan Rakjat”.

Apa isinya? ”Didalamnya ada karangan2 menjambut hari Idilfitri, ada andjuran untuk membandjiri Pasar Derma Nasional di Dai Tooa Kaikan, ada perslah rapat Komite Nasional Sumedang dialun-alun, penjerahan Sekolah Tehnik Tinggi (Bandung) oleh prof. Nagaoka kepada bangsa Indonesia jang diwakili oleh prof. Rooseno dalam upatjara jang ditutup dengan lagu Indonesia Raya.”

Melihat tanggal terbitnya, jelas sekali Tjahaja manajemen dengan rasa pejuang muncul lebih awal sepekan dari koran Berita Indonesia yang terbit 13 September 1945.

Nama Tjahaja Diganti Jadi Soeara Merdeka

Perubahan dari nama Tjahaja ke Soera Merdeka dilakukan kemudian. Kemungkinan keesokan harinya. Perubahan nama dilakukan dengan alasan, melanjutkan penerbitan itu dengan nama yang sama akan dianggap menyalahi dan melanggar hukum-hukum internasional. Itu sangat mungkin terjadi lantaran Sekutu mulai mengatur dan memegang kekuasaan di Kota Bandung.

Dengan demikian, setelah berganti nama pun, terbit secara faktualnya Soeara Merdeka masih lebih awal dari Berita Indonesia. Sayangnya secara legal formal, Soeara Merdeka saat itu boleh dibilang koran gelap. Berbeda dengan Berita Indonesia, harian Soeara Merdeka yang terbit saat itu sama sekali tidak mencantumkan nama penerbit, jajaran redaksi, dan alamat kantornya. Koran juga dicetak tanpa nomor dan tanggal.

Pilihan itu bukannya tidak berisiko. ”Dengan tidak memperdulikan risiko dan segala akibatnja ’Soeara Merdeka’ terus diterbitkan dan disiarkan dengan tjepat keseluruh pulau Djawa dan Bali (Den pasar)”.

Atas ulahnya tersebut, beberapa kali kenpeitai alias polisi militer Jepang menyerbu kantor Soeara Merdeka. Mula-mula mereka menakut-nakuti dengan menyebutkan bahwa penerbitan koran itu adalah pelanggaran yang hukumannya berat. Beberapa truk tentara Gurkha di bawah pimpinan opsir Inggris juga meluruk kantor Soeara Merdeka lantaran penerbitan koran itu dianggap menentang Sekutu. Maksudnya sama, penerbitan harus dihentikan.

Namun permintaan itu diabaikan. Sampai satu malam, mereka datang lagi, masuk ke percetakan, mengambil drijfsriemen snelpers, merampas kope-kope, dan membawanya ke markas.

Lewat jalur diplomasi, masalah itu bisa diselesaikan. Sebagai kelanjutannya, koran secara terang-terangan mencantumkan alamat kantornya di Jalan Raya Timur 54-56 dan nomor telefon 2356-2357-2358-2376. Tahun Jepang pun diganti dengan tahun Masehi 1945. Nomor pertamanya terbit 4 halaman pada hari Rabu, tanggal 26 September 1945.

Walaupun demikian, susunan redaksi baru muncul tahun 1947. Nama-nama yang terlibat dalam penerbitannya masing-masing Boerhanoeddin Ananda (pemimpin umum), Mohamad Koerdie (pemimpin redaksi), Koko Koswara (pemimpin administrasi), M Padmi (pemimpin perusahaan), dan Adiwikarta, Joso, Soeprapto, dan Atje Bastaman (pemilik).

Di Samping Soeara Merdeka Para Jurnalis Menerbitkan Perdjoangan Kita

Dalam keadaan sulit di bawah ancaman Sekutu, Soeara Merdeka terus diterbitkan. Bahkan ditambah dengan menerbitkan koran lainnya, Perdjoangan Kita.

Surat Kabar Pertama Setelah Proklamasi 1

Harian Pagi Indonesia yang terbit tanggal 17 Agustus 1950 menulis, ”Dikala kota Bandung dibagi dua bagian: Utara-Selatan, atas usaha pengemudi ’Soeara Merdeka’ setelah koran tsb. Diterbitkan di Bandung, diterbitkan lagi ’Perdjoangan Kita’ digedung ’Sipatahoenan’, Dalem Kaum 42, koran mana kemudian terpaksa dibawa mengungsi ke Tjiparaj dan achirnya sekali karena kerusakan-kerusakan akibat serangan meriam Belanda, terpaksa harus diberhentikan sama sekali.”

Namun faktor terpenting yang menyebabkan berhenti terbitnya Soeara Merdeka adalah banjir. ”Bandjir (Tjikapundung) jang sangat hebat itulah jang menghentikan penerbitan ’Soeara Merdeka’ jang sedang mempunjai oplaag lebih dari 20.000 expl. Dan bertumpuk-tumpuk postwissel permintaan menjadi langganan yang belum bisa dipenuhi!”

Usaha menerbitkan koran di Kota Bandung tidak mungkin lagi dilakukan. Jangankan menerbitkan koran, menyelamatkan diri saja butuh upaya yang keras.

Untuk menyelamatkan nyawa diri dan juga keluarganya, para jurnalis mengungsi ke Tasikmalaya. Di pengungsian inilah penerbitan Soeara Merdeka dilanjutkan dengan kantor yang ada di Djalan Galoenggoeng 46. Mengingat berbagai kesulitan dan juga keterbatasan, koran akhirnya berhenti terbit sama sekali pada tanggal 16 Juli 1947.